OJK Tetap Pungut Iuran terhadap Emiten

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan tidak akan menghapus iuran yang dikenakan terhadap emiten. Hal ini menyusul keluhan dari sejumlah emiten terhadap adanya pungutan tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal dan Anggota Dewan Komisioner OJK, Hoesen mengatakan, pihaknya memang akan mengkaji soal keberatan yang disampaikan emiten. Namun untuk saat ini, iuran tersebut tetap akan diberlakukan.
‎‎"Iya kita sudah bilang, nanti kita kaji. Tapi sekarang tetap seperti itu. Saya bilang tidak akan turun dulu dalam waktu dekat. Tidak akan diubah dan ditinjau lagi," ujar dia di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (1/8/2018).

Menurut dia, iuran tersebut masih sangat dibutuhkan untuk pengembangan yang dilakukan OJK. Terlebih, saat ini OJK sudah tidak lagi mendapatkan alokasi anggaran dari APBN.
"Saat ini tidak akan melihat itu dulu. Kita masih butuh untuk pengembangan. Mudah-mudahan pasarnya tumbuh dengan baik dan emiten dapat mencari dana di pasar modal. Bisa tumbuh sehingga investor dapat manfaatnya," kata dia.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Franky Welirang menilai iuran yang diterapkan tidak adil bagi pada emiten yang bergerak di sektor riil. Menurut dia, iuran seperti ini cocok jika dikenakan pada perusahaan di sektor jasa keuangan.
"Sektor keuangan itu fair, yang nonemiten juga bayar. Yang sektor riil dianggap sebagai keuangan, enggak fair dong. Industri semen, industri makanan, kawannya yang di luar (bukan emiten) yang industri semen enggak bayar. Yang ini lebih transparan terbuka dan semuanya bahkan oke ujung-ujungnya ada insentif pajak, ya insentif pajak ya sama saja lari semua," ujar dia.
Meski demikian, Franky memahami jika OJK tidak mampu untuk mengubah aturan tersebut. Sebab, iuran ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan OJK.
‎"Itu peraturan pemerintah di luar yang OJK. Jadi itu PP, yang harus berubah itu Peraturan Pemerintah. OJK enggak bisa. jadi itu dalam proses kepada pemerintah sendiri," ujar dia.

Sebelumnya,  Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) meminta Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mengubah struktur acuan penerapan listing fee atau biaya pencatatan dari kapitalisasi pasar (market capitalization/market cap) menjadi modal disetor. 
Direktur Eksekutif AEI, Isakayoga, mengatakan acuan listing fee dengan menggunakan kapitalisasi pasar akan membebani perusahaan-perusahaan besar.
"Kami usulkan listing fee menggunakan rumus lama, yakni berdasarkan modal disetor tidak seperti saat ini yang menggunakan market cap. Ini membuat perusahaan yang besar seakan dapat hukuman, semakin besar maka biayanya semakin tinggi," ujar di Gedung Bursa Efek Indonesia, Selasa 24 Juli 2018.
Dia mengatakan, usulan tersebut telah disampaikan ke jajaran direksi bursa. Namun, hingga kini otoritas pasar modal tidak pernah membahas dan mengubah mekanisme listing fee tersebut.
"Belum ada keputusan, belum ada hasil. Kita tidak tahu," kata dia.
Selain itu, AEI juga mengusulkan kepada OJK untuk menurunkan pungutan emiten atau menghapus pungutan terhadap emiten.
Dia menjelaskan, di zaman Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), emiten tidak dibebani dengan iuran. 
"Makanya kami usulkan rasionalisasi, arahnya menurunkan pungutan atau menghapus pungutan. Karena dulu pungutan emiten ini tidak ada," kata dia.
Harapannya, usulan tersebut dapat dijawab melalui revisi PP No 11/2014 tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 
"Kelihatannya itu masih dalam proses untuk direvisi, kita enggak tahu. Karena sekarang semangatnya sama efisiensi. Tapi semangatnya itu mulai dipikirkan apakah pungutan itu tidak dilakukan atau diturunkan," ujar dia.

Komentar

Postingan Populer